Samarinda Yakinkan Publik: Insinerator Tak Langgar Aturan, Justru Jadi Terobosan Ramah Lingkungan

img 20251101 wa0001
Plt. Kepala DLH Samarinda, Suwarso. (ns/kaltimvoice)

KALTIMVOICE.ID, SAMARINDA — Di saat pemerintah pusat menegaskan larangan terhadap insinerator yang tak memenuhi baku mutu emisi, langkah Kota Samarinda justru menunjukkan arah berbeda. Pemerintah kota menegaskan bahwa proyek insinerator yang sedang dibangun di kawasan Polder Air Hitam bukan ancaman bagi lingkungan, melainkan inovasi pengelolaan sampah yang telah disesuaikan dengan regulasi nasional.

Sikap ini muncul setelah Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa pembakaran sampah yang tidak memenuhi standar emisi dilarang keras di Indonesia. Ia mengingatkan potensi bahaya dari sistem pembakaran yang tak mencapai suhu ideal 1.850 derajat celcius, yang bisa menghasilkan dioksin dan furan, yakni dua zat kimia beracun yang dapat bertahan hingga dua dekade di udara dan berisiko memicu kanker.

“Bahwa penyelesaian pengelolaan sampah dengan menggunakan insinerator, ini benar-benar dilarang oleh keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Karena, insinerator yang kita gunakan tanpa kaedah yang sangat proven, itu akan menimbulkan penyakit ataupun bencana yang lebih besar daripada sampah itu sendiri,” ujar Hanif saat kegiatan di Nusa Dua, Bali, Jumat (25/9/2025).

Polemik itu langsung direspons oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda. Plt. Kepala DLH Samarinda, Suwarso, memastikan alat insinerator yang sedang disiapkan Pemkot berbeda dengan sistem yang dilarang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Yang dilarang itu yang tidak memenuhi uji emisi atau sistem pembuangan cerobongnya langsung ke udara,” kata Suwarso, Sabtu (1/11/2025).

Suwarso menjelaskan, insinerator Samarinda menggunakan mekanisme cerobong air, bukan cerobong udara seperti umumnya. Gas hasil pembakaran dialirkan ke dalam empat bak air agar proses sirkulasi dan penyaringan lebih aman.

“Pembuangan atau cerobongnya kan ke dalam bak-bak air, bukan ke udara. Tapi memang dipersyaratkan agar Pemkot Samarinda melakukan pemeliharaan rutin supaya tidak terjadi kebocoran-kebocoran,” jelasnya.

Teknologi yang digunakan bukan rancangan baru, melainkan hasil pengembangan dari sistem Wisanggeni di Kota Bandung. DLH Samarinda menyebut, model tersebut sudah terbukti lebih aman dan efisien. “Kita mengambil contoh dari Bandung, sistemnya sama, cerobongnya dialirkan ke air untuk menetralkan gas buang,” tambah Suwarso.

Ia juga menegaskan, KLHK tidak sepenuhnya menolak penggunaan insinerator, hanya memperketat syarat teknis agar tidak terjadi pencemaran. “Insinerator itu boleh digunakan asal memenuhi syarat uji emisi. Yang tidak boleh itu yang cerobongnya ke udara,” ujarnya.

Karena kapasitas insinerator Samarinda tergolong kecil, izin lingkungan yang dibutuhkan cukup berupa UKL-UPL dari DLH setempat.

Pendapat senada disampaikan Sukisman, anggota Bidang Infrastruktur, Lingkungan Hidup, dan Ketahanan Iklim TWAP Samarinda. Ia menilai, larangan insinerator tidak bisa dipukul rata. Justru, regulasi yang berlaku memberi ruang bagi inovasi, asalkan memenuhi ambang batas emisi.“Kita harus berhati-hati karena setiap pembakaran sampah itu akan mengeluarkan emisi. Nah, emisi yang dikeluarkan itu harus memenuhi baku mutu,” ujarnya.

Sukisman mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 70 Tahun 2012 tentang Baku Mutu Emisi, yang mengatur kadar maksimum dioksin dan furan sebesar 0,1 nanogram per meter kubik. “Di lampiran satu sudah disebutkan daftar list emisinya yang harus dipenuhi. Jadi pedomannya ini jelas,” tegasnya.

Ia menambahkan, pengelolaan sampah termal di Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu insinerasi, pirolisis, dan gasifikasi dan semuanya diperbolehkan jika kadar emisinya di bawah ambang batas.

Selain itu, Permen PUPR Nomor 3 Tahun 2013 juga mengakui metode pembakaran termal sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah rumah tangga. “Kalau hanya berdasarkan pernyataan saja bahwa insinerator tidak boleh, ya tidak bisa begitu. Masa mau dikalahkan aturan yang lebih tinggi,” imbuhnya.

Tahapan uji coba menjadi langkah krusial sebelum alat beroperasi penuh. Menurut Sukisman, sistem serupa telah diuji di Bandung dan akan diterapkan di Samarinda melalui proyek percontohan di kawasan Polder Air Hitam.

“Workshopnya nanti di Air Hitam, dan di situ juga akan jadi lokasi uji coba. Ada satu unit yang memang disiapkan untuk dibongkar pasang dalam proses pengujian,” ujarnya.

DLH memastikan masa uji coba akan dilakukan secara terbuka dan sesuai prosedur. “Nanti setelah selesai dibangun akan ada masa uji coba dulu. Biasanya uji emisi dilakukan setelah unitnya beroperasi,” terang Suwarso.

Pembangunan insinerator ditargetkan tuntas pada Desember 2025, dan DLH berencana melatih tenaga lokal agar mampu mengoperasikan alat secara mandiri. “Sebelum beroperasi penuh, nanti ada pelatihan pengelolaan. Kami juga berupaya menyerap tenaga kerja lokal agar pengelolaan sampah ini bisa berkelanjutan,” tutupnya. (ns)

Share:

Facebook
Telegram
WhatsApp
X

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *