Penerapan K3 di Layanan Gigi Puskesmas Masih Terbatas, drg. Zheditya Soroti Risiko Kerja Tinggi

foto zheditya (1)
drg. Zheditya Ayu Syawalia, mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman sekaligus Kepala Puskesmas Air Putih (Foto : Kaltim Voice/drg. Zheditya).

KALTIM VOICE, SAMARINDA –  Penerapan prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di layanan kedokteran gigi puskesmas masih jauh dari kata ideal. Padahal, dokter gigi merupakan salah satu tenaga medis yang paling rentan terpapar risiko kerja, mulai dari infeksi menular hingga gangguan otot dan tulang.

Hal ini disampaikan oleh Zheditya Ayu Syawalia, seorang dokter gigi yang juga mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman. Dalam tulisannya, ia menyoroti lemahnya implementasi K3 di layanan gigi puskesmas sebagai ancaman serius bagi kualitas pelayanan dasar masyarakat.

“K3 sering kali hanya dianggap formalitas. Padahal, ini soal perlindungan nyata bagi tenaga medis dan pasien,” ujar Zheditya kepada redaksi Kaltim Voice, Minggu (28/9/2025).

Layanan kedokteran gigi di puskesmas memiliki risiko kerja yang kompleks. Selain kontak langsung dengan cairan tubuh pasien seperti darah dan saliva yang berpotensi menularkan penyakit (HIV, Hepatitis B dan C), posisi kerja yang statis dan berulang juga kerap menyebabkan gangguan muskuloskeletal seperti nyeri punggung dan leher.

Tak hanya itu, paparan bahan kimia seperti disinfektan dan anestesi bisa memicu gangguan pernapasan serta iritasi kulit.

“Ini bukan hanya soal APD. Tapi sistem—mulai dari ventilasi, sterilisasi alat, hingga pelatihan tenaga medis yang terstruktur,” jelasnya.

whatsapp image 2025 09 27 at 18.21.42
Kepala Puskesmas Air Putih, drg. Zheditya Ayu Syawalia

Zheditya menegaskan bahwa penerapan K3 sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan pentingnya layanan dasar yang berkualitas, perlindungan tenaga kerja, dan penciptaan lingkungan kerja yang aman.

Dalam dokumen Asta Cita, tiga dari delapan program prioritas nasional berkaitan langsung dengan implementasi K3, yaitu:

  • Penguatan layanan dasar (termasuk puskesmas),
  • Peningkatan kesejahteraan tenaga kesehatan,
  • Dan pengembangan sistem kerja yang aman dan produktif.

“K3 bukan beban. Ini investasi jangka panjang untuk kualitas layanan kesehatan Indonesia,” tambahnya.

Meski regulasi sudah ada, seperti Permenkes No. 58 Tahun 2016 yang mewajibkan pembentukan Tim K3 di fasilitas kesehatan, realitas di lapangan masih menyisakan banyak persoalan.

Di Samarinda, misalnya, beberapa puskesmas—terutama di wilayah pinggiran—mengaku belum memiliki SDM yang cukup memahami prinsip-prinsip K3. Pelatihan belum menyeluruh, dan protokol masih belum sepenuhnya terinternalisasi sebagai budaya kerja.

Namun demikian, mayoritas puskesmas di kota tersebut sudah mulai dilengkapi dengan APD, tata cara cuci tangan standar WHO, serta sistem sterilisasi dan pengelolaan limbah medis yang sesuai standar.

Menurut Zheditya, transformasi K3 tidak cukup dengan regulasi, tapi harus dimulai dari budaya kerja yang menjadikan keselamatan sebagai nilai utama. Peran pimpinan puskesmas dan tim manajemen sangat krusial dalam menciptakan sistem kerja yang aman dan suportif.

“K3 harus menjadi budaya, bukan hanya prosedur,” tegasnya.

Sebagai mahasiswa magister kesehatan masyarakat, ia menekankan pentingnya pendekatan sistemik—tidak hanya melihat dari aspek klinis, tapi juga dari sisi kebijakan, manajemen risiko, dan epidemiologi. (Mzhra).

whatsapp image 2025 09 27 at 18.21.23
Kepala Puskesmas Air Putih, drg. Zheditya Ayu Syawalia

Share:

Facebook
Telegram
WhatsApp
X

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *