KALTIMVOICE.ID, SAMARINDA – Kotoran ternak, khususnya sapi, adalah limbah yang dapat menimbulkan pencemaran. Namun, Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) melihat potensi besar di baliknya. Dengan teknologi dan inovasi sederhana, limbah kotoran sapi bisa diolah menjadi pupuk organik bernilai ekonomi tinggi sekaligus ramah lingkungan.
Kepala Bidang Kawasan dan Agribisnis Dinas Peternakan Kaltim, Ihyan Nizam, mengungkapkan, satu ekor sapi mampu menghasilkan 15 hingga 25 kilogram kotoran setiap hari. Jika dikalikan dengan 100 ekor sapi, maka dalam sehari bisa terkumpul kurang lebih sekitar dua ton limbah.
“Sapi itu kan sekitar 15 sampai 25 kilo dia per hari mengeluarkan limbah. Satu ekor. Nah, kalau dipelihara 100 berarti saya kalikan 100 ya kan. Anggap satu hari itu kalau 20 kilo kali 100 berarti ada 2 ton,” jelas Ihyan, Sabtu (30/8/25).
Ia menerangkan, secara alami kotoran sapi memang bisa terurai menjadi kompos, tetapi membutuhkan waktu panjang hingga tiga bulan. Jika tidak diolah dengan baik, limbah tersebut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan sekaligus menjadi media penularan penyakit zoonosis, penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia.
“Agar mempercepat proses penguraian bakterinya dilakukanlah penambahan beberapa bahan. Nah, bahan inilah yang bisa mempercepat proses pengomposan sehingga yang seharusnya normalnya 3 bulan bisa menjadi 21 hari,” terangnya.
Selain menghasilkan pupuk organik, pengolahan limbah ternak juga membantu mengurangi emisi gas metana yang menjadi salah satu penyumbang terbesar efek rumah kaca. Ihyan menyebut, jika dibiarkan, kotoran sapi dapat meningkatkan produksi gas metana yang berpengaruh pada perubahan iklim.
“Efek rumah kaca itu salah satunya dihasilkan dari metan yang dihasilkan kotoran sapi. Jadi dengan proses kompos ini setidaknya mengurangi metannya tadi,” tambahnya.
Menurutnya, pupuk organik hasil olahan limbah sapi telah dimanfaatkan di berbagai sektor. Mulai dari perkebunan sawit, pot tanaman hias, hingga rencana pemanfaatan untuk kebutuhan di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang tengah berkembang.
“Peternak sendiri bisa juga buat pot-pot bunga. Nah, itu salah satu distribusi mereka secara alami. Cukup. Salah satunya juga bisa untuk IKN karena mereka memerlukan pupuk organik ini,” jelas Ihyan.
Agar mendukung program tersebut, Dinas Peternakan Kaltim rutin melakukan pembinaan kepada kelompok peternak melalui program Pengembangan Desa Korporasi Ternak (PDKT). Program ini dirancang agar peternak tidak hanya berfokus pada budidaya sapi, tetapi juga mampu mengelola hasil ikutan termasuk limbahnya.
“Tahun kemarin itu ada 9 PDKT di 7 kabupaten. Tahun ini ada 12 PDKT. Satu PDKT itu 100 ekor sapi, gabungan dua kelompok yang membentuk koperasi. Jadi suplainya dari suplai sapinya,” jelasnya.
Dirinya menambahkan, meskipun Kaltim selama ini dikenal sebagai lumbung energi, tetapi melalui berbagai program strategis, pemerintah berupaya meningkatkan kemandirian pangan. Saat ini, kebutuhan ayam potong juga sudah mampu dipenuhi dari produksi lokal. Sedangkan kebutuhan sapi masih didatangkan sekitar 70 persen dari luar daerah.
Dengan inovasi pengolahan limbah menjadi pupuk organik, Dinas Peternakan Kaltim berharap peternakan tidak hanya berkontribusi pada pemenuhan pangan, tetapi juga mendukung ketahanan lingkungan serta memberikan nilai tambah ekonomi bagi peternak di daerah. (yud)