Kisah Ragil, Fotografer Lepas yang Setia “Menghentikan” Ayunan Kaki Pelari di Trek Jogging

whatsapp image 2025 09 11 at 09.18.45 63e44c39
Ragil (21), fotografer lepas yang biasa memotret para pelari di Teras Samarinda dan Gor Kadrie Oening, Sempaja.

KALTIMVOICE, SAMARINDA — Setiap akhir pekan, ketika matahari baru menampakkan cahayanya, derap kaki para pelari menjadi pemandangan yang akrab di kawasan ikon Kota Tepian, Teras Samarinda. Di tengah keramaian warga yang berolahraga, ada satu sosok yang setia hadir dengan aktivitasnya sendiri.

Dialah Ragil (21), seorang fotografer lepas berusia belia yang menjadikan momen olahraga warga sebagai sumber inspirasi sekaligus penghasilan. Ragil mengaku sudah terbiasa memotret orang-orang yang jogging setiap pagi di kawasan tepi Sungai Mahakam itu.

Ia tidak hanya sekadar mengabadikan momen. Namun, menawarkan hasil fotonya kepada siapa pun yang ingin menyimpan kenangan aktivitas sehat mereka.

Sore harinya, dia berpindah ke GOR Kadrie Oening, Sempaja, tempat lensa kameranya kembali ‘menghentikan’ ayunan kaki menjadi memori. “Biasanya pagi di Teras Samarinda, sorenya di GOR Kadrie Oening. Saya memang kerja di bidang fotografer,” kata Ragil, Kamis (11/9/2025).

Dalam sehari, ratusan jepretan ia hasilkan. Meski tidak semuanya laku, Ragil tetap konsisten mengabadikan setiap gerakan warga yang membudayakan pola hidup sehat. Dia mematok harga antara Rp15.000 hingga Rp25.000 per foto, sementara untuk acara khusus bisa mencapai Rp35.000.

Menurutnya, tarif tersebut masih wajar dan terjangkau bagi masyarakat yang ingin memiliki foto berkualitas dari momen olahraga mereka. Dengan kamera profesional yang nilainya mencapai jutaan rupiah, Ragil bekerja sebagai fotografer lepas tanpa studio khusus.

Ia memanfaatkan aplikasi FotoYu untuk memudahkan pelanggan mencari foto mereka dengan sistem tagging wajah. Dengan begitu, setiap orang bisa langsung menemukan hasil jepretan pribadi tanpa harus bersusah payah memilah ribuan file. Meskipun membidikkan lensa secara random, Ragil tahu membaca bahasa tubuh orang yang dijadikan objek.

Ada yang menolak dengan memberi tanda tangan menyilang atau melambaikan tangan. Jika sudah begitu, ia langsung mengalihkan bidikan lensanya. “Kalau ada yang dadah-dadah nggak mau difoto, ya saya lewati saja,” ujarnya.

Satu hal yang membuat Ragil bertahan adalah keakraban yang ia bangun bersama para pelari. Ia percaya, relasi yang hangat akan membuat orang merasa nyaman dan akhirnya kembali menggunakan jasanya. “Tergantung fotonya, angle-nya bagus atau nggak, dan bagaimana kita akrab sama orang-orang di sini,” tutupnya. (ns)

Share:

Facebook
Telegram
WhatsApp
X

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *