KALTIM VOICE, SAMARINDA – Pengamat Kebijakan Publik Universitas Mulawarman, Dr. Saiful Bachtiar, menyoroti sikap Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kalimantan Timur yang enggan memberikan penjelasan kepada publik terkait Tunjangan Tambahan Penghasilan (TTP) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang nilainya mencapai hingga Rp99 juta per bulan dan telah berjalan selama dua tahun terakhir.
Menurutnya, sebagai pejabat tertinggi ASN di lingkup Pemprov Kaltim, Sekda semestinya bersikap terbuka dan menjadi motor evaluasi kebijakan tunjangan ini. “Sekda bukan hanya membuka diri, tapi juga harus memimpin evaluasi terhadap seluruh struktur jabatan yang menerima TPP. Harus ada pelurusan dan penjelasan yang jelas kepada masyarakat,” tegas Saiful kepada Kaltim Voice. Senin (22/10/2025) di Samarinda.
Saiful juga mengkritisi anggaran belanja pegawai yang mencapai Rp2,1 triliun, di tengah kondisi keuangan daerah yang sedang menghadapi tekanan, terutama akibat pemotongan dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah pusat. Ia menyebut, pemotongan ini bisa mencapai 50 hingga 70 persen dari tahun sebelumnya, atau sekitar Rp4–5 triliun.
“Ini mestinya menjadi perhatian. Ketika rakyat harus berhemat, seharusnya pemerintah daerah juga melakukan efisiensi. Jangan sampai pembangunan tertunda, tapi pejabat tetap mempertahankan tunjangan jumbo,” katanya.
Dalam pandangan Saiful, TTP bukanlah kewajiban negara seperti gaji pokok. Oleh karena itu, pemberiannya seharusnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Ia juga menilai Peraturan Gubernur yang mengatur TTP lemah karena tidak mengatur batas atas yang fleksibel untuk menyesuaikan dengan kondisi keuangan.
“Kalau anggaran sedang longgar, TPP bisa saja diberikan. Tapi kalau keuangan daerah sedang ketat, seharusnya pejabat legowo TPP-nya dikurangi. Jangan justru rakyat yang diminta berhemat, sementara pejabatnya menikmati tunjangan besar,” ujarnya.
Terkait nilai TTP ASN yang mencapai Rp99 juta, Rp60 juta, hingga Rp48 juta per bulan, Saiful menyebut hal ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial, apalagi ketika masyarakat sedang menghadapi kesulitan ekonomi.
“Gelombang penolakan dan protes bisa saja terjadi. Kepala daerah, terutama Gubernur dan Wakil Gubernur, harus bijak dan segera ambil langkah nyata, bukan sekadar mengatakan akan evaluasi, tapi benar-benar melakukannya,” tegasnya.
Saiful menutup dengan menegaskan pentingnya keteladanan pejabat publik dalam menjalankan efisiensi anggaran, terutama di masa krisis fiskal. “Pejabat harus jadi contoh, bukan justru mempertahankan hak istimewa di tengah rakyat yang sedang kesulitan,” pungkasnya.(Mzhra).